Manusia ingat dunia lupa akherat adalah sumber bencana, manusia
berusaha tanpa berdoa adalah bencana, manusia berdoa tanpa berusaha
adalah bencana. Yang di atas tidak
merasa kalau di atas, tidak mau bertanggungjawab atas amanatnya. Yang di
bawah juga tidak mau tahu kapan taat dan kapan tidak taat. Disinilah
sumber bencana “Karena adanya kekosongan, al ajwaf-jawfa’, keropos,
memikirkan materi ndak memikirkan moral, orang memikirkan moral tidak
memikirkan materi, akhirnya kekosongan”. Alam rusak karena manusia,
manusia tidak menempatkan dirinya sebagai makhluk yang akan memimpin
alam. Nabi kita, Nabi kita itu rahmatan lil’alamin, wa maa arsalnaaka
illaa rahmatan lil’aalamiin, wa nunazzilu minal Qur’ani maa huwa
syifaa’un wa rahmatun. Rahmah, untuk supaya kerahmatanlil’alaminnya Nabi
kita Muhammad, untuk menjadi fungsinya al Qur’an sebagai syifa’ dan
rahmah perlu hidayah, dan Islam itu lah yang namanya hidayah.
Bagaimana alam di sekitar ini tetap abadi, tetap terjaga, tetap
bermanfaat?. Semua itu untuk manusia, di dalam beribadah kepada Allah,
“Lakum”. Di dalam al Qur’an itu “khalaqo lakum maa fissamaawaati wal
ardh” “ja’ala lakumul ardho”, lakum, “alladzii ja’ala lakumul ardho
firoosyan wassamaa_a binaa_an”, lakum. Kamu kalau bertanya “hai kebo,
hai wedus, hai kadal, kodok, kamu diciptakan untuk apa?”. Mereka akan
menjawab “untukmu wahai manusia”. Bertanya kepada nyamuk “Kamu nyamuk
diciptakan di dunia untuk apa?”. Mereka akan menjawab“untukmu manusia”.
Apalagi tumbuh-tumbuhan, untukmu. Tetapi manusia diciptakan
“liya’buduni” untuk menyembah Allah.
Sumber bencana karena apa?
“Karena meninggalkan fungsi”. Jadi, mengapa terjadi bencana disana-sini?
“Karena adanya kehilangan atau perpindahan atau kerusakan fungsi”.
Manusia cape’ jadi manusia, binatang pengen jadi manusia juga nggak
bisa, laki-laki bosan jadi laki-laki, perempuan juga bosan jadi
perempuan, payah. Monyet-monyet itu sekarang itu pada protes, karena
apa? Karena manusia ganti nama, kalau jadi pacaran mereka cinta monyet.
Marah mereka, mbok cinta manusia kenapa cintanya koq cinta monyet?.
Kebo itu juga marah, hehehe, teruskan sendiri. Mereka pengen ganti
nama, karena apa? Karena namanya sudah dikorup oleh manusia, dicopet
oleh manusia, kenapa nama saya dipake? Mbok cintanya “cinta kirik (anak
anjing)” gitu, koq nama saya yang dipake?. Kebo, kerbau juga marah, itu
di atap kita ada cicak, mbok namanya “kumpul cicak” kenapa nggak itu?,
kumpul tanpa akad nikah itu. Marah, kecewa mereka.
Laki-laki
bosan jadi laki-laki, pakai giwang, pakai anting-anting, pakai kalung,
tinggal kasih lonceng aja itu. Perempuan capeee’ jadi perempuan, pengen
jadi laki-laki. Cape’ bosan jadi peremapuan, ulah tingkahnya itu,
hehehe, teruskan sendiri. Gajah cape, di Lampung itu gajah pakai jilbab,
warnanya hijau, dihiasi, di atasnya itu ada makhluk ndak pakai baju,
yang tertutup auratnya hanya tinggal seperempat atau sepersepuluh dari
badannya. Bingung, ini manusianya mana binatangnya mana? Itu di Lampung,
manusia cape berpakaian. Betul? Ya Allah...
Sumber bencana, la
hawla wa la quwwata illa billah. Kita yang bertanggungjawab
mengembalikan manusia kepada kemanusiaan yang sempurna. Kamu jadi santri
harus bisa macam-macam termasuk pramuka, renang dan lain-lain. Kamu
kalau ada berada di sungai di danau, naik sampan, meskipun kamu pinter
bahasa arab, pinter bahasa inggris, matematika 9, fisikanya 9, tapi
nggak bisa berenang, kalau terguling apa yang terjadi? Hah? Bahasa
arabmu itu ghoiru musta’mal ketika itu.“SOMBONGNYA MANUSIA KARENA
BISANYA, LUPA BERAPA YANG TIDAK DIBISAI”. Itulah makanya, disinilah
banyak kekosongan akhirnya banyak tidak beres, sumber bencana.
Kita jangan menyalahkan orang lain. Yang harus disalahkan adalah diri
kita sendiri. Sekarang di Indonesia, terjadi bencana. Dulu waktu Tsunami
di Aceh, apa komentar orang? “itu gara-gara Aceh banyak maksiat, karena
disana banyak bid’ah, banyak khurofat, atau mau keluar dari Indonesia,
akhirnya diterjang oleh Tsunami”, yang ngomong itu kira-kira orang Jawa
itu. Habis itu ganti Jawa Barat kena Tsunami, banjir lagi. Apa kata
orang Jawa Tengah? “ooo, itu gara-gara banyak maksiat, disitu banyak
molimo, disitu banyak syirik, banyak orang yang berbuat maksiat, makanya
dapat adzab dari Allah”, seakan-akan dia orang yang sholeh. Habis itu
kena lagi, ganti Jogja yang kena gempa, apa kata orang lain? “wah itu
gara-gara banyak syirik, disana banyak bid’ah, banyak orang yang
maksiat, banyak orang yang kumpul kebo, pasti itu dapat adzab dari
Allah”, yang ngomong itu seakan-akan orang sholeh. Jalan lagi, Jawa
Timur lumpur Lapindo. Apa katanya? “gara-gara maksiat”. Seakan-akan
orang hanya tinggal menyalahkan orang lain, seakan-akan dirinya yang
paling sholeh. Ini termasuk sumber bencana. Apa sumber bencana? “Karena
merasa dirinya itu sholeh, seakan-akan dirinya itu paling takut,
kemudian menyalahkan orang lain”.
Celakanya, waktu ada Tsunami
itu ada selebriti atau artis yang ngomong “Ini peringatan dari tuhan
supaya orang-orang jangan sombong, yang sombong itu adalah orang yang
suka mengkritik artis-artis”. Padahal Ulama’ kemarin mengatakan “Kita
mendapat bencana karena banyak zina, banyak maksiat, banyak mengumbar
aurat, banyak hubungan yang tidak beres, dan sebagainya dan sebagainya”,
yang dimaksudkan adalah kaum artis. Besok pagi baru artis ada yang
ngomong, “gara-gara maksiat”, apa maksiatnya? “Itu lho orang-orang yang
menjelek-jelekkan artis”. Ini yang menjadi sumber bencana “Menyalahkan
orang lain, membela diri tidak pada tempatnya”.
Maka, “MARI KITA
ISI HIDUP INI DENGAN YANG BERMANFAAT, JADILAH MANUSIA YANG BERMANFAAT,
JANGAN HANYA PANDAI MEMANFAATKAN DAN JANGAN SAMPAI HANYA DIMANFAATKAN”.
-KH. Hasan Abdullah Sahal-
0 komentar:
Posting Komentar